Sejak tahun 1995, tanggal 10 Agustus selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas). Awalnya adalah keberhasilan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN, sekarang PT Dirgantara Indonesia) menerbangkan pesawat N-250, yang diklaim sebagai hasil karya asli anak-anak bangsa. Saat itu memang Prof. Dr.-Ing. Baharuddin Jusuf Habibie sedang di puncak prestasinya sebagai Menteri Riset & Teknologi Republik Indonesia. Dan beliau adalah ahli aeronautika dan pernah menjadi wakil presiden sebuah perusahaan pembuat pesawat terbang di Jerman yaitu Messerschmidt Bolkow Blohm (MBB). Habibie mencoba mendorong kebangkitan teknologi nasional dari aeronautika, bukan sekedar karena dia pakarnya, namun karena (1) dia yakin jika aeronautika yang teknologi canggih bisa dikuasai, mestinya yang lain seperti teknologi mekanisasi pertanian atau otomotif akan lebih mudah lagi; (2) dia percaya kemajuan aeronautika akan menjadi lokomotif yang menarik maju sejumlah teknologi penunjangnya seperti teknologi mesin, kimia, material, elektronika, hingga teknologi informasi. Oleh karena itu, di era 1980-an, Habibie tanpa ragu-ragu setiap tahun mengirim ratusan lulusan SMA terbaik dari seluruh Indonesia untuk belajar teknologi ke berbagai negara maju (AS, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, Belanda, Austria, Australia). Untuk itu dia juga berani utang ke Bank Dunia agar seluruh program ini berjalan. Setiap pelajar yang dikirim ini mendapat beasiswa minimal sejumlah 50.000 US-Dollar hingga menamatkan insinyurnya. Jumlah ini baru untuk biaya hidup (living cost), belum biaya kuliah (tuition fee). Namun dengan pola ikatan dinas, Habibie yakin investasi negara ini tidak akan sia-sia.
Namun sejarah kemudian membuktikan bahwa seluruh rencana itu nyaris kandas. Sejak awal para ekonom mengkritik teori Habibie (”Habibienomics”) sebagai utopia. Kata mereka, yang dibutuhkan bangsa ini adalah teknologi tepat guna, yang dapat dipakai oleh petani di pedesaan, industri kecil dan menengah, serta sektor rumah tangga, yang jumlahnya sangat besar – dan selama ini tergantung impor. Krisis ekonomi yang membuat Indonesia menjadi pasien IMF memaksa semua proyek-proyek teknologi ini ditinjau ulang. IPTN yang kemudian jadi PTDI dibiarkan bangkrut. Ribuan karyawannnya dirumahkan, dan ratusan tenaga profesional yang dulu disekolahkan ke Luar Negeri dengan hutang Bank Dunia ramai-ramai hengkang ke Luar Negeri. Sekarang saja masih ribuan ex karyawan PTDI yang menuntut pesangonnya. Lobby-lobby internasional membuat pesawat N250 tidak diberi sertifikat terbang oleh otoritas dunia, sehingga pemasarannya seret. Habibie sendiri kemudian semakin terseret dalam politik, menjadi Presiden RI yang melepas Timor Timur dan membuka keran liberalisasi, dan kemudian terpaksa turun dari kancah politik karena pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.
Sekarang gaung Hakteknas sudah jarang terdengar, meski tetap diperingati. Tahun ini, Kementrian Ristek menggelar antara lain Pameran Ristek, Ristek-Medco Award (untuk orang-orang yang dianggap berjasa mengembangkan energi alternatif), Ristek-Telkom Award (untuk mereka yang dianggap berjasa mengembangkan software Open Source) dan Ristek-Martha Tilaar Award (untuk yang diangap berjasa mengembangkan obat / herbal tradisional).
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kebangkitan teknologi hampir mustahil diciptakan atau dikendalikan oleh para teknolog itu sendiri. Ada interaksi yang kuat dengan dunia ekonomi, politik, legislasi, dan juga kultur masyarakat. Semua aspek ini harus turut berbenah agar terjadi kebangkitan. Pada saat yang sama, kebangkitan itu nanti tak sekedar kebangkitan teknologi, tetapi juga kebangkitan ekonomi, politik dan sosial-budaya masyarakat.
Kekeliruan yang mungkin terjadi di masa lalu adalah terlalu mendewakan teknologi. Teknologi dianggap obat mujarab atas segala penyakit. Padahal dalam implementasinya, tanpa kepercayaan dunia keuangan, tanpa selembar surat dari otoritas pemberi ijin, tanpa komitmen kuat para politisi, dan tanpa akseptansi dari masyarakat luas, teknologi hanya akan berada di puncak menara gading. Tidak membumi. Tidak digunakan. Dan akhirnya hilang tertelan sejarah.
Di sini kita melihat bahwa ada yang lebih mendasar dari kebangkitan teknologi, yaitu kebangkitan cara berpikir seluruh elemen masyarakat, baik di level bawah (grassroot) mapun elit: pengusaha, penguasa, politisi, ilmuwan hingga pemuka agama. Kita memerlukan orang-orang yang benar-benar memiliki visi kebangkitan. Dan Islam menyediakan visi itu, ketika Allah berfirman dalam QS Ali-Imran:110
Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Jadi setiap muslim harus punya visi menjadi yang terbaik, karena dengan itu misinya di dunia untuk menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah dapat berjalan optimal.
Pada masa lalu, visi ini begitu mendarahdaging di dalam umat Islam. Umat Islam di Madinah di masa nabi belum memiliki teknologi secanggih yang dimiliki orang-orang Romawi, Persia, India atau Cina. Tetapi karena mereka begitu menghayati pesan Allah agar menjadi yang terbaik, mereka siap untuk berjalan ribuan mil ke Cina, demi mendapatkan teknologi kertas, kompas dan mesiu. Mereka ke India menyerap ilmu aritmetika dan angka India, yang kemudian diadopsi sehingga menjadi lebih terkenal sebagai angka Arab. Mereka belajar serius beberapa bahasa asing agar dapat secepat mungkin mentransfer teknologi dari Barat dan Timur, untuk dikembangkan lebih lanjut. Dan dengan teknologi itu mereka dalam waktu kurang dari seabad sudah lebih unggul dari Persia dan Romawi, sehingga dakwah mereka menjadi berwibawa dan jihad mereka hampir selalu meraih kemenangan.
Ini menunjukkan cara berpikir yang bangkit dengan didasari keimanan. Maka seluruh politik pada masa itu akan sinergi. Tidak seperti sekarang, teknologi dicoba dibangkitkan hanya dengan motivasi ekonomi atau kebanggaan nasional. Padahal para pemain ekonomi sering hanya berburu rente atau keuntungan jangka pendek. Para politisi berpikir hanya sampai pemilu mendatang, dan bagaimana investasi politiknya cepat kembali. Sedang massa konsumen dibuai dengan mimpi dari media tentang kehebatan produk asing. Tidak mungkin kebangkitan apapun bisa terjadi dengan cara ini. Teknologi juga terbukti bukan lokomotif kebangkitan, namun hanya salah satu efek dari sesuatu yang lebih mendasar tadi, yaitu kebangkitan berpikir.
Adalah tugas para pemimpin umat di segala lini, baik ulama maupun ilmuwan, birokrat maupun teknolog, yang sedang berkuasa maupun yang di luar kekuasaan, agar bersama-sama mewujudkan kebangkitan berpikir berlandaskan keimanan, agar yang didapat adalah kebangkitan yang benar dan sempurna.
Baca Selengkapnya . . .
Namun sejarah kemudian membuktikan bahwa seluruh rencana itu nyaris kandas. Sejak awal para ekonom mengkritik teori Habibie (”Habibienomics”) sebagai utopia. Kata mereka, yang dibutuhkan bangsa ini adalah teknologi tepat guna, yang dapat dipakai oleh petani di pedesaan, industri kecil dan menengah, serta sektor rumah tangga, yang jumlahnya sangat besar – dan selama ini tergantung impor. Krisis ekonomi yang membuat Indonesia menjadi pasien IMF memaksa semua proyek-proyek teknologi ini ditinjau ulang. IPTN yang kemudian jadi PTDI dibiarkan bangkrut. Ribuan karyawannnya dirumahkan, dan ratusan tenaga profesional yang dulu disekolahkan ke Luar Negeri dengan hutang Bank Dunia ramai-ramai hengkang ke Luar Negeri. Sekarang saja masih ribuan ex karyawan PTDI yang menuntut pesangonnya. Lobby-lobby internasional membuat pesawat N250 tidak diberi sertifikat terbang oleh otoritas dunia, sehingga pemasarannya seret. Habibie sendiri kemudian semakin terseret dalam politik, menjadi Presiden RI yang melepas Timor Timur dan membuka keran liberalisasi, dan kemudian terpaksa turun dari kancah politik karena pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.
Sekarang gaung Hakteknas sudah jarang terdengar, meski tetap diperingati. Tahun ini, Kementrian Ristek menggelar antara lain Pameran Ristek, Ristek-Medco Award (untuk orang-orang yang dianggap berjasa mengembangkan energi alternatif), Ristek-Telkom Award (untuk mereka yang dianggap berjasa mengembangkan software Open Source) dan Ristek-Martha Tilaar Award (untuk yang diangap berjasa mengembangkan obat / herbal tradisional).
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kebangkitan teknologi hampir mustahil diciptakan atau dikendalikan oleh para teknolog itu sendiri. Ada interaksi yang kuat dengan dunia ekonomi, politik, legislasi, dan juga kultur masyarakat. Semua aspek ini harus turut berbenah agar terjadi kebangkitan. Pada saat yang sama, kebangkitan itu nanti tak sekedar kebangkitan teknologi, tetapi juga kebangkitan ekonomi, politik dan sosial-budaya masyarakat.
Kekeliruan yang mungkin terjadi di masa lalu adalah terlalu mendewakan teknologi. Teknologi dianggap obat mujarab atas segala penyakit. Padahal dalam implementasinya, tanpa kepercayaan dunia keuangan, tanpa selembar surat dari otoritas pemberi ijin, tanpa komitmen kuat para politisi, dan tanpa akseptansi dari masyarakat luas, teknologi hanya akan berada di puncak menara gading. Tidak membumi. Tidak digunakan. Dan akhirnya hilang tertelan sejarah.
Di sini kita melihat bahwa ada yang lebih mendasar dari kebangkitan teknologi, yaitu kebangkitan cara berpikir seluruh elemen masyarakat, baik di level bawah (grassroot) mapun elit: pengusaha, penguasa, politisi, ilmuwan hingga pemuka agama. Kita memerlukan orang-orang yang benar-benar memiliki visi kebangkitan. Dan Islam menyediakan visi itu, ketika Allah berfirman dalam QS Ali-Imran:110
Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Jadi setiap muslim harus punya visi menjadi yang terbaik, karena dengan itu misinya di dunia untuk menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah dapat berjalan optimal.
Pada masa lalu, visi ini begitu mendarahdaging di dalam umat Islam. Umat Islam di Madinah di masa nabi belum memiliki teknologi secanggih yang dimiliki orang-orang Romawi, Persia, India atau Cina. Tetapi karena mereka begitu menghayati pesan Allah agar menjadi yang terbaik, mereka siap untuk berjalan ribuan mil ke Cina, demi mendapatkan teknologi kertas, kompas dan mesiu. Mereka ke India menyerap ilmu aritmetika dan angka India, yang kemudian diadopsi sehingga menjadi lebih terkenal sebagai angka Arab. Mereka belajar serius beberapa bahasa asing agar dapat secepat mungkin mentransfer teknologi dari Barat dan Timur, untuk dikembangkan lebih lanjut. Dan dengan teknologi itu mereka dalam waktu kurang dari seabad sudah lebih unggul dari Persia dan Romawi, sehingga dakwah mereka menjadi berwibawa dan jihad mereka hampir selalu meraih kemenangan.
Ini menunjukkan cara berpikir yang bangkit dengan didasari keimanan. Maka seluruh politik pada masa itu akan sinergi. Tidak seperti sekarang, teknologi dicoba dibangkitkan hanya dengan motivasi ekonomi atau kebanggaan nasional. Padahal para pemain ekonomi sering hanya berburu rente atau keuntungan jangka pendek. Para politisi berpikir hanya sampai pemilu mendatang, dan bagaimana investasi politiknya cepat kembali. Sedang massa konsumen dibuai dengan mimpi dari media tentang kehebatan produk asing. Tidak mungkin kebangkitan apapun bisa terjadi dengan cara ini. Teknologi juga terbukti bukan lokomotif kebangkitan, namun hanya salah satu efek dari sesuatu yang lebih mendasar tadi, yaitu kebangkitan berpikir.
Adalah tugas para pemimpin umat di segala lini, baik ulama maupun ilmuwan, birokrat maupun teknolog, yang sedang berkuasa maupun yang di luar kekuasaan, agar bersama-sama mewujudkan kebangkitan berpikir berlandaskan keimanan, agar yang didapat adalah kebangkitan yang benar dan sempurna.